Sadarkah kita bahwa alam tempat tinggal kita ini makin rusak? Biasanya dalam merayakan Hari Lingkungan Hidup, banyak orang menyoroti kerusakan lingkungan hidup. Kita merasakan bumi yang makin panas, banjir, serta pencemaran udara, air, dan tanah, semua itu adalah masalah yang menimbulkan banyak dampak negatif bagi manusia. Gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan dan eksploitasi alam yang berlebihan telah membuat alam ini berduka. Lingkungan hidup menjadi rusak dan terjadilah ketidakadilan ekologi.
Gereja dan lingkungan hidup
I. Pendahuluan
Sadarkah kita bahwa alam tempat tinggal kita ini makin rusak? Biasanya dalam merayakan Hari Lingkungan Hidup, banyak orang menyoroti kerusakan lingkungan hidup. Kita merasakan bumi yang makin panas, banjir, serta pencemaran udara, air, dan tanah, semua itu adalah masalah yang menimbulkan banyak dampak negatif bagi manusia. Gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan dan eksploitasi alam yang berlebihan telah membuat alam ini berduka. Lingkungan hidup menjadi rusak dan terjadilah ketidakadilan ekologi.
Mengapa lingkungan hidup kita menjadi rusak? Adakah cara pandang dan sikap manusia yang salah terhadap alam? Tentu saja. Pemahaman dan cara pandang orang terhadap lingkungan hidup memengaruhi sikap mereka dalam memperlakukan alam. Misalnya ada pandangan bahwa manusia adalah pusat alam semesta (anthroposentris). Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem. Alam dilihat hanya sebagai objek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya bernilai sejauh menunjang kepentingan manusia. Tentu pandangan seperti itu menghasilkan sikap yang tidak bersahabat dengan alam.
Melihat kembali peristiwa-peristiwa bencana alam yang melanda banyak bagian negeri kita, sudah seharusnyalah kita merenung bahwa sudah sejauh mana kerusakan yang kita perbuat kepada lingkungan tenpat kita berdiam dan hidup ini. Kita boleh lihat bahwa jika hal ini terus menerus terjadi maka tidak pelak lagi kehancuran bumi ini akan terjadi dan hal itu merupakan kehancuran kita semua. Maka hal yang utama pada saat sekarang ini adalah menyelamatkan bumi dari kehancurannya. Benarlah Robert P.Borrong mengatakan bahwa tidak ada pilihan lain kecuali bumi menjadi satu-satunya kemungkinan untuk manusia hidup, dan karena itu kerusakan bumi berarti ancaman terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
II. Lingkungan hidup sebagai ciptaan Allah
Dalam Kejadian 1:24-30 dikatakan bahwa Allah melihat bahwa semuanya itu baik. Artinya segala yang telah diciptakan Allah, yaitu bumi beserta seluruh isinya adalah sempurna. Allah telah menciptakan sebuah ekosistem yang saling bergantung satu dengan yang lain antara mahluk hidup ciptaan Allah dan juga bumi. Kebesaran dan keangungan Tuhan nampak dari karya ciptaannya dalam dunia ini. Ciptaan Allah (dalam artian Lingkungan Hidup) digambarkan pemazmur dalam Mazmur 104. Perikop ini menggambarkan ketakjuban pemazmur yang telah menyaksikan bagaimana Tuhan yang tidak hanya mencipta, tapi juga menumbuhkembangkannya dan terus memelihara ciptaan-Nya. Ayat 13, 16, 17,18 dan 30 misalnya, menggambarkan pohon-pohon diberi makan oleh Tuhan, semua ciptaan menantikan makanan dari Tuhan. Dalam perikop ini, penonjolan bahwa manusia berkuasa atas alam tidak tampak. Walaupun sebenarnya dalam kitab Kejadian, manusia diciptakan untuk menguasai dan memelihara ciptaan Allah tersebut. Tetapi yang lebih ditonjolkan dalam perikop ini adalah bukan hanya manusia yang menanti kasih dan berkat Allah, tetapi seluruh ciptaan (unsur lingkungan hidup). Ayat ini juga menggambarkan bahwa bukan hanya manusia saja yang diberi kehidupan tetapi juga ciptaan lainnya. Singkatnya, menurut penulis bahwa sebagai Pencipta, Allah sesuai rencana-Nya yang agung telah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan maksud dan fungsinya masing-masing dalam hubungan harmonis yang terintegrasi dan saling memengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Jadi, sikap eksploitatif terhadap alam merupakan bentuk penodaan dan perusakan terhadap karya Allah yang agung itu.
2.1. Kepemimpinan manusia atas alam
Walaupun manusia dan alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur ciptaan lainnya. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej. 1:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15). Tetapi dalam kisah penciptaan yaitu Kej. 1:28, sering kali dipahami seolah-olah mandat dari Allah yang memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada manusia untuk mengekploitasi alam serta semua mahluk yang hidup di dalamnya. Memang benar bahwa manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada mahluk lainnya. Manusia merupakan wakil Allah untuk memerintah mahluk hidup yang ada di bumi atas nam Allah. Tetapi sebagai wakil Allah, manusia tidaklah seharusnya memperlakukan alam dan mahluk lainnya dengan sewenang wenang. Menurut Bruce.C.Birch, Kej. 1:26 kata “radah” atau kekuasan tidaklah berarti bahwa manusia memiliki hak prerogratif untuk melakukan apa saja kepada bumi ini sesuka hati kita. Kita bukanlah raja yang absolute di dunia ini melainkan kita diberi kepercayaan untuk bertindak sebagai pelayan atas nama kuasa Allah sebagai Pencipta. Penulis sependapat dengan Bruce.C.Birch, yang mengatakan bahwa posisi manusia di bumi bukanlah sebagai penguasa atas alam ciptaan Allah, tetapi pelayan bagi seluruh ciptaan Allah tersebut untuk mewujudkan kehendak Allah atas bumi ini. Oleh sebab itu mnusia diberi kuasa atas alam adalah untuk memelihara sesuai dengan tujuan Allah. Maka manusia sebagai ciptaan Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian daripada ibadah dan pengabdiannya kepad Allah. Tentunya ibadah dan pengabdian manusia bukanlah sebuah tindakan yang sewenang-wenang dan ekploitatif tetapi sebuah perlakuan yang baik dan bertanggungjawab. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: mengelola sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola ("abudah") dan memelihara ("samar") lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.
2.2. Kegagalan manusia memelihara alam
Alkitab mencatat secara khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama seperti Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej. 3:5-6). Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Menurut Bruce C.Birch bahwa ciptaanan lainnya selain manusia juga ikut dalam kehancuran/penderitaan yang diakibatkan oleh dosa itu. Seperti yang dituliskan oleh Rasul Paulus dalam hal kehancuran oleh dosa, “sebab kita tahu bahwa sampai sekarang segala mahluk sama-sama mengeluh dan sama-sama sakit bersalit” (Roma 8:22). Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama ciptaan", tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya". Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan dikonsumsi. Manusia hanya memerhatikan tugas menguasai, tetapi tidak memerhatikan tugas memelihara. Dengan demikian, manusia gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam. Akar perlakuan buruk manusia terhadap alam terungkap dalam istilah seperti: "tanah yang terkutuk", "susah payah kerja", dan "semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bumi" (Kej. 3:17-19). Manusia selalu dibayangi oleh rasa kuatir akan hari esok yang mendorongnya cenderung rakus dan materialistik (bnd. Mat. 6:19-25 ).
III. Tanggung jawab Gereja (orang Kristen) atas lingkungan
Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus memiliki peran yang besar dalam menjaga lingkungan dari kerusakannya. Dalam hal ini gereja harus menyadari bahwa kerusakan lingkungan sudah merupakan ancaman yang serius bagi tatanan kehidupan saat ini. Kerusakan lingkungan berakar dalam keserakahan dan kerakusan manusia. Itu sebabnya manusia yang dikuasai dosa keserakahan dan kerakusan itu cenderung sangat konsumtif. Secara teologis, dapat dikatakan bahwa dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis etika dan krisis moral ini menyebabkan krisis ekologis, krisis lingkungan. Dengan demikian, setiap perilaku yang merusak lingkungan adalah pencerminan krisis moral yang berarti tindakan dosa. Dalam arti itu, maka upaya pelestarian lingkungan hidup harus dilihat sebagai tindakan pertobatan dan pengendalian diri. Dilihat dari sudut pandang Kristen, maka tugas pelestarian lingkungan hidup yang pertama dan utama adalah mempraktikkan pola hidup baru, hidup yang penuh pertobatan dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan dosa dan keinginannya, tetapi dikendalikan oleh cinta kasih.
Materialisme juga adalah akar kerusakan lingkungan hidup. Alam dalam bentuk benda menjadi tujuan yang diprioritaskan bahkan disembah menggantikan Allah. Kristus mengingatkan bahaya mamonisme (cinta uang/harta) yang dapat disamakan dengan sikap rakus terhadap sumber-sumber alam (Mat. 6:19-24.; 1 Tim. 6:6-10). Karena mencintai materi, alam dieksploitasi guna mendapatkan keuntungan material. Lebih lanjut lagi Robert P.Borrong menegaskan bahwa faktor ekonomi khususnya segi kerakusan manusia merupakan faktor penting dalam proses pengrusakan lingkungan. Segi ini paling menonjol sebagai sisi yang menyebabkan pengrusakan lingkungan, karena mendorong pengeksploitasian tak terbatas terhadap sumber-sumber daya alam dan sekaligus menunjukkan ketidak adilan terhadap umat manusia. Akibat dari pengeksploitasian yang tak terbatas tersebut maka mengakibatkan kemerosotan yang luar biasa pada kondisi lingkungan, khususnya semakin terbatasnya sumber daya alam dan punahnya sebagian spesies tertentu. Akhir abad ini diperkirakan sejuta jenis binatang, tumbuhan, dan serangga terancam punah akibat kegiatan manusia tersebut. Tahun 2050 setengah dari spesies yang ada akan hilang selama-lamanya. Penurunan jumlah spesies yang mengerikan ini menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati.
Maka supaya alam dapat dipelihara dan dijaga kelestariannya, manusia harus berubah (bertobat) dan mengendalikan dirinya. Manusia harus menyembah Allah dan bukan materi. Dalam arti itulah maka usaha pelestarian alam harus dilihat sebagai ibadah kepada Allah melawan penyembahan alam, khususnya penyembahan alam modern alias materialisme. Pelestarian alam juga harus dilihat sebagai wujud kecintaan kita kepada sesama sesuai ajaran Yesus Kristus, di mana salah satu penjabarannya adalah terhadap seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan.
Oleh sebab itu menurut penulis, gereja harus berperan besar dalam menjaga lingkungan dari kerusakannya. Selama ini gereja hanya berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan kebaktian atau kegiatan lain yang melayani manusia. Menurut penulis, sudah saatnya gereja menyadari bahwa gereja memiliki tugas panggilan menjaga keutuhan ciptaan atau kelestarian lingkungan hidup. Gereja tidak boleh melepaskan tanggung jawab atas lingkungan ini. Gereja juga tidak boleh hanya berfokus pada kotbah dan doktrin semata. Tetapi gereja harus menjadi pelopor dalam menyuarakan dan menggerakkan masyrakat umumnya maupun warganya khususnya dalam menjaga lingkungan dari kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tugas dan panggilan gereja dalam menjaga keutuhan ciptaan atau kelestarian lingkungan hidup, misalnya dengan membuat program-program seperti, pembinaan tentang kesadaran ekologis, perayaan hari lingkungan hidup dalam liturgy, menata lingkungan gereja dengan memperhatikan keseombangan ekologis, gerakan penanaman pohon bagi seluruh warga gereja, serta mengajak anggota jemaat membudayakan gaya hidup yang ramah dan dekat dengan alam.
3.1. Dewan Gereja-Gereja Dunia
Pada Sidang Raya DGD di Vancouver tahun 1983, menghasilkan tema “Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan” atau yang biasa disingkat dengan KPKC. Sidang Raya ini berpendapat masalah-masalah lingkungan perlu ditanggulangi sama seperti persoalan tentang isu-isu keadilan, misalnya Hak Azasi Manusia dan juga soal perdamaian, misalnya penggunaan senjata nuklir. Hal ini berarti bahwa persoalan lingkungan sekarang ini sama besarnya dengan persoalan keadilan dan perdamaian. Begitu juga dengan Sidang Raya VII tahun 1991 di Canberra, Australia, yang mengambil tema: “Come , Holy Spirit_Renew the whole Creation”. Berdasarkan tema tersebut, Sidang Raya telah melakukan berbagai pengkajian teologi mengenai tanggungjawab gereja terhadap mlingkungan dan menekankan beberapa segi yang penting untuk menjadi perhatian dan tugas gereja.
Dari hal tersebut di atas memang sudah saatnya gereja secara serius mengambil tindakan yang konkrit dalam menjaga lingkungan kita. Gereja tidak boleh lagi sekedar melayani di atas mimbar tetapi juga harus berada di depan untuk menjadi penggerak dalam menjaga alam lingkungan kita. Dalam pelaksanaannya saya setuju dengan pendapat Robert P.Borrong yang menekankan bahwa hal ini hendaknya diimplementasikan oleh gereja-gereja secara regional, nasional, sinodal dan juga local. Gereja-gereja di setiap tingkatan seperti yang disebutkan di atas harus aktif dalam mensosialisasikan serta melaksanakan pesan dari Sidang-Sidang Raya DGD tersebut. Karena dengan hal itu tentunya alam kita akan sedikit terjaga dari ancaman kerusakannya. Dengan demikian gereja telah nyata melaksanakan tri tugas panggilannya di dunia ini dengan tujuan mendatangkan shalom Kerajaan Allah bagi bumi ini.
3.2. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
Pada Sidang Raya XI PGI tahun 1989 di Surabaya, tugas pemberitaan Injil dirumuskan sebagai berikut seperti yang dikutip oleh Robert.P.Borrong :
Memberitakan injil kepada seluruh mahluk mengandung makna tanggung jawab terhadap keutuhan ciptaan Tuhan. Tuhan member mandat untuk mengusahakan dan memelihara segala ciptaan Tuhan (Kej.2:15). Karena dosa manusia, Bumi pun ikut terkutuk (Kej.3:17-18) dan ditahlukkan kepada kesia-siaan dan perbudakankebinasaan. Segala mahluk iktu mengerang merasa sakit bersalain menanti kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah (Rm.8:20-22). Allah menghendaki pulihnya kembali hubungan yang utuh dan menyeluruh antar segala mahluk (Yes.11:1-10). Kristus datang untuk memperbaharui segala sesuatu (Why.21:5) dan di dalam Kristus kita adalah ciptaan baru (2Kor.5:17)
Rumusan tersebut sangat jelas bahwa tugas gereja dalam memberitakan injil adalah mencakup tanggung jawab gereja dalam menjaga lingkungan dari ancaman yang dapat merusak alam kita. Tetapi tugas gereja dalam menjaga alam lebih konkrit dirumuskan dalam Sidang Raya PGI X tahun 1994 di Jayapura, Irian Jaya menetapkan salah satu bentuk artisipasi dalam pelayanan gereja dalam pembangunan nasional, yaitu dalam hal kepekaan gereja terhadap pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Tugas itu dilembagakan melalui Yayasan Tanggul Bencana Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (YTB-PGI). walaupun pada mulanya yayasan ini ditujukan kepada penanggulangan bencana, tetapi karena hal ini berhubungan langsung dengan lingkungan maka tugas pemeliharaan lingkungan diserahkan kepada yayasan ini untuk dikoordidnasikan secara nasional.
Sejalan dengan pendapat Robert.P.Borrong bahwa gereja merupakan lembaga yang menjadi sumber dan kekuatan moral, maka dalam menjaga lingkungan hidup, tanggung jawab sangat dibutuhkan. Dan hal ini memang harus menjadi tugas utama gereja dalam menumbuhkan tanggung jawab moral tersebut. Gereja harus menjadi Pembina moralitas dan spiritualitas yang dapat membangkitkan kesadaran akan lingkungan hidup. Moralitas dan spiritualitas ini dibangun dengan dasar penghayatan iman bahwa semua ciptaan diselamatkan dan dibaharui oleh Tuhan. Pembaharuan itu menciptakan kehidupan yang harmonis. Artinya jika gereja melihat hal-hal yang merupakan ancaman yang dapat merusak lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan, penebangan hutan, limbah pabrik dan sebagainya, maka gereja harus berani membina masyarakatnya sebagai tanggung jawab moral kepada Tuhan pencipta alam lingkungan ini.
3.3. Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD)
Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (selanjutnya GKPPD), memang tidak memiliki sebuah rumusan tentang keutuhan ciptaan. Hal ini memang sangat disayangkan karena GKPPD juga bertanggung jawab atas alam dan lingkungan hidup. Untuk saat sekarang ini sudah merupakan hal yang mustahil jika gereja tidak memiliki misi yang konkrit dalam menjaga lingkungan hidup. Tetapi pada tahun 2005-2007 GKPPD telah bekerja sama dengan Yayasan Tanggul Bencana – Indonesia (YTB-I) dalam melaksanakan penghijauan di pinggiran laut Aceh Singkil dengan menanam puluhan ribu pohon bakau. Walaupun penanaman itu dilaksanakan akibat dari bencana Tsunami tahun 2004 yang silam, tetapi hal itu dapat merupakan sebuah titik berangkat (starting point) dalam meningkatkan kesadaran bagi gereja untuk terus menjaga lingkungan hidup ini.
IV. Tanggapan Etis
Allah telah memercayakan alam ini untuk dikelola dan dipelihara. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Manusia mengeksploitasi alam sesuka hati tanpa memikirkan hal buruk yang akan terjadi akibat eksploitasi tersebut. Manusia modern saat ini sudah sangat rakus. Akibat dari kerakusan itu manusia cenderung serakah sehingga hal ini mendorong manusia untuk mengesksploitasi alam secara berlebihan. Oleh sebab itu manusia merupakan satau-satunya yang bertanggung jawab atas kerusakan alam lingkungan ini.
Sementara itu, Allah memberikan mandat kepada manusia untuk menjadikan ciptaan ini menjadi berkat secara luas dan berkelanjutan bagi seluruh kehidupan sesuai dengan kehendak Allah. Jadi menurut penulis, tugas manusia adalah mengelola dan memelihara alam sebagai bagian dari ungkapan syukur kepada Tuhan dan menjadikan berkat bagi seluruh ciptaan Tuhan. Bukan memanfaatkan alam ini hanya untuk memuaskan hidup manusia itu. Manusia tidak boleh menjadi penguasa yang arogan terhadap ciptaan Allah hanya karena tugas pemeliharaan alam diberikan Allah kepada manusia. Manusia sebagai Imago Dei, tidaklah menunjukkan bahwa kesegambaran manusia itu sama dengan sifat-sifat Allah. Tetapi kesegambaran itu lebih cenderung mengungkapkan hubungan yang baik antara sesama ciptaan dengan pencipta.
V. Kesimpulan
1. Alam atau lingkungan hidup telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada kita untuk digunakan dan dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia. Manusia dapat menggunakan alam untuk menopang hidupnya. Tetapi bukan hanya kebutuhan manusia menjadi alasan penciptaan. Alam ini dibutuhkan pula oleh makhluk hidup lainnya bahkan oleh seluruh sistem kehidupan atau ekosistem. Allah memiliki maksud dan tujuan yang baik atas seluruh ciptaannya. Manusia sebagai gambar Allah harus memelihara alam seperti sesuai dengan misi Allah terhadap ciptaannya.
2. Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya dan juga sebagai tubuh kristus harus berperan aktif dalam menjaga alam lingkungan. Tetapi pertama sekali gereja harus sadar bahwa ala mini memang sudah rusak dan krisis. Alam tempat gereja dan seluruh mahluk berdiam sedang diambang kehancuran. Maka gereja sebagai sebuah kekuatan moral harus memulainya dari daalam diri gerea itu untuk menjaga lngkungannya dari tangan-tangan yang merusak alam ini. Tidak hanya menjaga alam dari tangan-tangan jahil tetapi gereja harus melestarikan alam ini dengan melaksanakan program-progran penghijauan di sekitar gereja serta menganjurkan seluruh jemaat untuk menanami pohon di sekitar rumah masing-masing. Tentunya untuk hal yang lebih besar lagi gereja harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga, baik itu lembaga swadaya masyarakat, WALHI barangkali ataupun dengan pemerintah untuk menjaga lingkungan ini.
3. Sebab itu pelestarian alam juga harus dilihat sebagai wujud kecintaan kita kepada sesama sesuai ajaran Yesus Kristus, di mana salah satu penjabarannya adalah terhadap seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan.
1 komentar:
lias ate postingen na partua nami, sangat membantu :D. salam njuah-njuah deket lais ate mbue.
Posting Komentar