“Apa sebenarnya yang kau cari dalam hidup ini?”
Pertanyaan demikian sungguh menggugah kita untuk bertanya-tanya tentang tujuan hidup kita di dunia ini. Tetapi sayangnya, tidak banyak dari antara kita yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Sebagian besar dari kita, hidup hanya dalam gerak yang tetap, monoton dan tak pernah menemukan suatu tujuan yang dapat menyegarkan jiwa. Maka hidup akan berlangsung terus dalam ketidaktahuan arah, berjalan seperti robot yang dikendalikan oleh mesin waktu. Hidup akan kehilangan makna jika kita hanya sekedar hidup. “Apa sebenarnya yang kau cari dalam hidup ini?” Sudah semenjak berabad-abad lampau, pada saat manusia mulai memikirkan keberadaannya di dunia ini,
pertanyaan tersebut selalu menjadi tantangan yang mengusik. Tetapi sesungguhnya, manusia tak pernah dapat merumuskan jawaban yang pasti tentang hal itu. Karena jawabannya ada dan tersimpan jauh di dalam hati setiap orang. Maka pertama-tama kita harus menyadari apa yang membuat kita ada di dalam kehidupan ini.
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” demikianlah permulaan dari kitab suci. Allah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya. Lalu kita, manusia. TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Tetapi manusia, dengan segala kebebasan dan ambisinya, tidak ingin hanya menjadi tukang kebun. Maka manusia mulai mencari kebenarannya sendiri. Bahkan biar pun dia harus menjual jiwa kepada sang ular. Akhirnya, dengan segala resiko, dia mulai mencari, dan berbuat segala upaya menuju apa yang dianggapnya sebagai kebenaran sejati. Maka dia pun harus bertanggung-jawab atas segala perbuatannya. Kini, berkelanalah kita di atas bumi ini.
“Apa sebenarnya yang kau cari dalam hidup ini?” Kebenaran, kata kita. Tetapi apakah kebenaran itu? Bukankah kebenaran itu hanya kepentingan diri kita sendiri? Kita berupaya agar bahagia, senang dan puas menikmati keberadaan kita di dunia ini. Tetapi bahkan para milyader, penguasa dan mereka-mereka yang mampu mewujudkan segala keinginannya sekalipun, tidak pernah merasa puas hidupnya. Mengapakah demikian? Lalu apa sebenarnya yang kita cari? Bahkan biar pun telah kita jual jiwa kita kepada sang iblis sekali pun, kita tetap gagal menemukan apa yang kita harapkan itu. “Kurasa, lewat derita, kujadikan pengetahuan dan rasio menjadi milikku yang paling berharga” kata dr. Faust (Goethe). Maka manusia pun berseru dengan garang “Tuhan telah mati” dan “hiduplah manusia unggulan” seru Zarathustra (Nietzsche). Tetapi setelah melewati masa demi masa, manusia toh tetap “rindu menjadi tukang kebun dalam taman bungaNya” dan akan “meninggalkan pekerjaan hamba yang lain, hamba lemparkan pedang dan tombak hamba ke dalam debu....jadikanlah hamba tukang kebun bagi taman bungaMu” (Tagore).
Abad demi abad berlalu. Dan kita terus saja melata dalam pencarian yang tak kunjung usai. Banyak jawaban yang ditawarkan. Banyak upaya yang telah membangun atau menghancurkan diri kita sendiri. Tetapi tetap saja kita sering tak tahu apa yang kita cari. Ya, kita tak pernah menemukan jawaban itu karena kita adalah sang pemuda kaya yang enggan meninggalkan segala kesenangan hidup kita. Kita gagal menemukan makna kebahagiaan itu karena keterikatan kita dengan dunia. Dengan lingkungan kita. Dengan kesenangan kita. “Apa sebenarnya yang kau cari dalam hidup ini?” Cobalah merenungkan pertanyaan itu dalam keheningan hatimu. Cobalah menyelami makna keberadaanmu di dalam dunia ini. Kesementaraan hidup. Ketidak-abadian. Maka akan kau temukan suatu ketenangan alami. Suatu makna. Bahwa, yang kekal tidak akan nampak sebelum kita meninggalkan ketidak-kekalan kehidupan ini. Bahwa kelak, bukan kematian yang akan datang tetapi suatu kelahiran kembali di dunia yang baru. Dunia yang abadi. Karena itu, carilah kebenaran yang memerdekakan dan bukan kemerdekaan yang mengikat. Dan kita tahu itu saat Yesus berkata: “Damai sejahtera bagi kamu!” Itulah yang harus kita temukan di dalam hidup i
0 komentar:
Posting Komentar