Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Rabu, 25 Februari 2009

Gereja sebagai Garam


Berbicara tentang gereja maka kita boleh saja memiliki arti yang banyak dan berbeda-beda. Tetappi secara umum pengertian kita tentang gereja pasti sama kalau kita berangkat dari asal kata yaitu: “ekklesia”. Yunani ek: keluar dan kaleo: dipanggil. Maka pengertiannya adalah dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang. Secara singkat kita juga bole artikan gereja adalah persekutuan orang-orang percaya kepada Yeus Kristus.
Gereja bukanlah perkumpulan atau kerumunan.

Gereja sebagai garam



Di dalam perkumpulan orang bisa saja tidak saling kenal dan tidak saling peduli. Berbeda dengan gereja yang di dalamnya ada sebuah tuntutan yang mana setiap individu “hadir” di dalam persekutuan itu. Kehadiran itu menuntut agar setiap individu meninggalkan aku-nya dan kemudia menjadi kita. Istilah “kita” menandakan bahwa setiap individu di dalam kita tersebut sudah saling mengenal dan saling peduli. Rasul Paulus menggambarkan gereja sebagai anggota tubuh. Anggota tubuh yang satu berkaitan dengan anggota tubuh yang lainnya. Ketika perut merasa lapar, maka seluruh tubuh akanmerasakan sakit. Demikian juga dengan gereja, hendaknya hal-hal yang kurang dengan dirinya. Tetapi siapakah gereja itu? Gereja bukanlah sebatas gedung saja, tetapi segala unsur-unsur yang terdapat dalam gereja itu. Mulai dari pimpinan gereja, pendeta, penatua dan seluruh anggota jemaat. Oleh sebab itu tanpa terkecuali semua unsur-unsur tersebut di atas harus menjalankan misi Kristus di dunia ini sesuai dengan fungsi anggota tubuh tersebut.

Yesus menggambarkan bahwa gereja adalah garam dan terang. Garam adalah benda terpenting di alam Yahudi danYnani. Garam berfungsi untuk memberikan rasa kepada makanan agar enak untuk dimakan. Tanpa garam, makanan tersebut akan terasa hambar dan akan tidak enak untuk dimakan, apalagi kalau garam tersebut sampai tawar, maka sangat sulit dan bahkan tidak dapat lagi dikembalikan keasinannya. Yesus berkata: jika garam ini menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan selain dibuang dan diinjak orang?
Nah siapakah garam yang dimaksudkan Yesus itu? Tidak lain adalah gereja itu sendiri. Maka sebaiknyalah lambang orang kristen bukan sebatas salib tetapi juga garam. Seperti fungsi garam tersebut, demikain jugalah fungsi gereja (baca: orang Kristen). Objek dari fungsi garam tersebut adalah dunia. Seperti yang dikatan Yesus: Kamu adalah garam dunia. Gereja dituntut agar mempunyai garam di dalam dirinya supaya dapat menggarami dunia. Memberikan rasa kepada orang-orang yang sudah merasa hambar dalam hidupnya. Kehadiran gereja harus mempunyai makna di dalam lingkungannya dan bukan menjadi gangguan bagi sekitarnya. Nah, kalu hal ini sudah terjadi maka situasi sudah kritis.
Melihat kehidupan ber-gereja kita sekarang ini, maka kita (baca: gereja) perlu koreksi diri sendiri melalui sebuah auto kritik. Sudah sejauh mana kita menggarami dunia ini dalam arti memberikan makna yang lebih baik dalam kehidupan kita. Apakah gereja yang nota bene adalah garam sudah menjalankan fungsinya? Apakah hidup keber-gereja-an kita hanyalah sebuah simbol dan formalitas saja?

Sebuah hukum sosiologi mengatakan bahwa sesuatu yang tidak berfungsi lagi akan mati. Hal ini tidak ada bedanya seperti yang dikatakan Yesus jika garam tawar tidak ada lagi fungsinya selain dibuang dan diinjak orang.
Jadi kita tidak boleh berfikir bahwa gereja tidak akan hilang (mati) semata-mata karena gereja itu milik Tuhan. Sama sekali tidak. Melihat keadaan jemaat-jemaat seperti Efesus, Galatia, Korintus (ketujuh jemaat di kitab Wahyu), maka kita sudah harus melakukan sebuah auto kritik. Sebahagian besar dari jemaat tersebut sekarang ini sudah tiada. Barangkali sebagian masih exis tetapi hanya meninggalkan kenangan masalalu tanpa mempunyai arti dan peranan apa-apa. Karena apa? Karena garam yang tidak berfungsi akan dibuang dan diinjak orang.

Mengutip ungkapan T.B.Simatupang: Sekiranya secara ajaib, pada suatu malam gereja tiba-tiba raib alias lenyap tanpa bekas. Nah keesokan harinya tatkala masyarakat menyadari hal itu, siapakah atau adakah menangis bahkan berkabung dan mengibarkan bendera setengah tiang? Ataukah mereka terheran sejenak, tetapi kembali ke rutinitas mereka sehari-hari?

Tentunya kita sebagai gereja tidak mungkin menginginkan seperti yang diungkapkan oleh alm T.B.Simatupang tersebut. Tetapi hal itu bisa saja terjadi kalau memang tidak lagi berfungsi sebagai garam yang memberi rasa, maka ketika gereja raib, masyarakat hanya terheran sejenak dan kembali kepada rutinitasnya masing-masing. (business as usual).
Hal ini menandakan begitu pentingya cermin bagi gereja untuk dapat membedah diri sudah sejauh mana makna dan relevansi gereja terhadap dunia yang terus berkembang. Karena melalui cermin diri, kita boleh melihat apa saja yang masih harus kita lakukan sebagai gereja (baca: umat Kristen) di dunia yang memang butuh tindakan/aksi dan bukan teori atau diskusi semata. Gereja harus menyadai kemalangannya dan berduka cita dan meratap seperti yang dikatakan di Yakobus 4:9. Tetapi bukan seperti cermin yang dimaksudkan Yakobus 1:23-24: seumpama seseorang yang mengamati mukanya di depan cermin, baru saja ia memandang dirinya ia sudah pergi atau segera lupa bagaimana rupanya.



0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 

Pengikut